Kini Israel dan Hamas terlibat dalam aksi yang disebut menteri pertahanan Israel Ehud Barak “perang hingga akhir” mari kita lihat pilihan yang mereka miliki.
Pertama-tama, apakah memang ini merupakan perang hingga akhir?
Bisa jadi demikian, dan bisa jadi akan lebih buruk situasinya karena jika perang sudah dimulai, tidak mudah mengontrolnya.
Tetapi terkaan yang paling mungkin adalah mereka akan terus bertempur hingga ada intervensi diplomatik yang bisa diterima kedua kubu, atau setidaknya berada di posisi yang tidak memungkinkan mereka menolak.
Para jenderal Israel selalu mempertimbangkan dua jenis waktu dalam melaksanakan operasi militer.
Yang pertama memperlihatkan bahwa mereka harus mencapai tujuan militer yang sudah ditentukan.
Israel memiliki lebih banyak pilihan dibanding Hamas
Yang kedua memperlihatkan banyaknya waktu yang tersisa sebelum tekanan internasional agar gencatan senjata ditetapkan menjadi tidak mungkin untuk ditolak.
Jam diplomatik ini berjalan seiring dengan jumlah kematian warga sipil, dan dengan jumlah warga Palestina yang tewas demikian tinggi, jam itu berdetak semakin kencang.
Hamas merupakan organisasi yang kurang konvensional.
Para pemimpinnya sadar reputasi mereka terbentuk oleh ideologi perlawanan.
Semakin menderita mereka, semakin keras mereka berjuang, semakin tinggi dukungan terhadap mereka di Timur Tengah.
Di wilayah yang penuh dengan kemarahan terhadap Israel dan sekutu baratnya, Hamas tidak akan menerima usul apapun yang akan membatasi aksi yang menurut mereka merupakan hak untuk berjuang.
Kelompok ini ingin mengirim pesan bahwa mereka tidak terintimidasi dan akan terus berjuang demi seluruh pihak di dunia yang marah dengan aksi Israel, dan juga kerumitan sekutu baratnya.
Akan tetapi kepemimpinan Hamas sangat cerdik. Kelompok ini mungkin akan menerima kesepakatan yang membuatnya semakin diakui di panggung internasional dan memberi napas baru pada pasukannya.
Namun untuk saat ini Israel masih menjalankan rencananya, mencoba untuk menguasai keadaan.
Dan Israel mendapat perlindungan dari pemerintahan Bush, yang masih memanfaatkan tembakan diplomatis di bulan terakhir kekuasaannya dengan mengatakan gencatan senjata memang diinginkan, tetapi hanya jika Hamas menghentikan aksi penembakan.
Disaat perang masih berlangsung, Israel memiliki lebih banyak pilihan dibandingkan Hamas.
Perang tak seimbang
Israel memiliki militer yang kuat dan modern. Hal ini tidak berarti kemenangan standar secara militer sudah pasti, karena jika sudah pasti Irak sudah menggempur Gaza sejak dulu.
Israel memiliki militer modern
Perang di Gaza, seperti juga banyak konflik lain di dunia saat ini, merupakan pertempuran antara si kuat dan si lemah.
Para pakar strategi menyebutnya perang asimetris atau tak seimbang.
Dalam perang seperti ini, kubu yang lemah sadar mereka tidak punya harapan untuk mengalahkan si kuat dalam perang frontal.
Jadi, mereka berusaha memperkuat kemampuan yang dimiliki dan mendayagunakannya untuk menyerang titik yang dianggap sebagai titik lemah.
Contoh yang paling ekstrim adalah pukulan luar biasa yang dihasilkan oleh sekelompok kecil pembajak yang menabrakkan pesawat komersial ke gedung World Trade Center 11 September 2001.
Hamas sangat ingin memukul Israel sekuat mungkin dan telah mengancam untuk mengerahkan pembom bunuh diri dan juga roket.
Tetapi organisasi ini ingin juga membuat pukulan dari Israel balik memukul.
Sejak tekanan internasional terhadap israel diawali dengan jumlah korban yang tewas dari kalangan warga Palestina, satu caranya adalah berkonsentrasi dalam perang media.
Ini sangat berarti dalam perang tidak seimbang.
Menang dalam perang media di dunia yang tidak pernah berhenti dari komunikasi langsung, merupakan bagian besar dalam memenangkan perang.
Ketika jenderal Wesley Clark dari Amerika menjadi komandan pasukan Nato di Kosovo tahun 1999, dia selalu memasang stasiun televisi berita di kantornya selama 24 jam.
Israel untuk saat ini melarang wartawan internasional masuk ke Gaza.
Garis yang konsisten
Negara itu jug amenyatakan sebagian besar wilayah Israel di perbatasan Gaza sebagai zona militer tertutup yang memberi kekuasaan pada tentara untuk mengusir para wartawan.
Juru bicara Israel di seluruh dunia ters mengemukakan pernyataan yang konsisten.
Mereka berulang kali, tanpa lelah, menegaskan bahwa Israel bertindak untuk membela diri, bahwa wilayah kedaulatannya dilanggar oleh serangan roket dan bahwa negara manapun yang berada dalam posisi itu akan melakukan hal yang sama.
Selain pernyataan menteri pertahanan mengenai perang hingga akhir, tampaknya ada upaya untuk tidak mempergunakan kata-kata yang bombastis.
Hal berbeda terjadi dalam perang di Lebanon tahun 2006, membebani Israel dengan visi kemenangan yang sangat tidak mungkin tercapai.
Namun Israel juga ingin mengirim pesan lain.
Negara itu menyerang simbol-simbol kekuasan dan prestise Hamas, seperti Universitas Islam di Gaza.
Israel yakin bisa merusak posisi Hamas sehingga tidak akan bisa lagi melontarkan roket melintasi perbatasan.
Negara ini memanda satu cara untuk memisahkan kepemimpinan Hamas dan pendukung utamanya dari warga Palestina di Gaza adalah dengan memperlihatkan betapa besar kerusakan yang diderita warga akibat tindakan Hamas.
Hal itu tampaknya tidak akan terjadi.
Bagi warga Palestina, apapun yang dikatakan oleh Israel soal serangan itu adalah hinaan terhadap semua pihak.
Untuk Israel sendiri, ini bukan hanya menggalahkan Hamas semata.
Negara itu ingin menghilangkan rasa ragu terhadap kompentensi militer Israel yang tercipta sejak dipaksa berperang hingga akhir oleh Hezsbollah Lebanon tahun 2006.
Israel menyebutnya memperbaiki kekuatan militer. Artinya mereka ingin membuat calon musuh takut akan kemungkinan aksi yang bisa dilakukan oleh Israel.